VISI

Nun jauh disana di tengah padang di tepi sebuah sungai yang jernih ku lihat sangkar burung, jerujinya dibuat oleh tangan yang pawai. Di satu sudut sarang itu ada seekor burung pipit mati, di sudut lain sebuah bejana kering dan sebuah cawan kosong dari biji-bijian.

Aku berhenti, tercekam oleh keheningan, dari yang bersembunyi kembali terdengar, seolah-olah burung mati dan gemericik arus itu tersirat suatu peringatan yang ditujukan kepada hati nurani, menyampaikan makna untuk hati, mempertimbang-kan dengan hati-hati, aku sadari bahwa burung yang mati itu berada di sebelah  air yang mengalir. Rasa lapar telah membinasakannya, meskipun dia telah berada di tengah padang yang membuai kehidupan. Dia seperti orang kaya, terkunci di gudang hartanya, mati kelaparan dikelilingi emas.

Sejurus kemudian tiba-tiba sangkar itu berubah menjadi kerangka kering dari seorang manusia. Burung mati telah menjadi seorang manusia. Darah merah mengucur dari sebuah luka yang dalam. Pinggiran luka itu berbentuk sepertu bibir seorang perempuan malang.

Lalu ku dengar suara yang bangkit dari luka itu bersama-sama tetesan darah, “Akulah hati manusia, tawanan persoalan dan dibunuh oleh hukum manusia yang terbuat dari tanah liat. Di tengah padang yang indah, di tepi sumber kehidupan, aku terpenjara di dalam sangkar hukum ciptaan manusia yang mengikat perasaan. Dalam buaian benda-benda indah dari ciptaan, ditempatkan di hadapan cinta, aku mati tak terpelihara, karena buah dari benda-benda yang indah itu, akibat dari cinta itu, telarang untukku. Semua ingin memberiku kegembiraan dinyatakan memalukan dan semua yang aku inginkan mereka putuskan penghinaan.

Akulah hati manusia. Aku terpenjara dalam kegelapan undang-undang masyarakat, dan aku menjadi lemah. Aku tak terpelihara di sangkarku yang terbuat dari tanah liat.”

Setelah itu aku tak melihat dan mendengar suara apapun, karena aku kembali ke kenyataanku.

Karya: Kahlil Gibran

JUNG (JONG), PERAHU DAN KAPAL-KAPAL KECIL LAIN


Selama beberapa decade silam, para arkaelogi berhasil menggali sisa-sisa peninggalann masa lampau berupa puing-puing kapal di sebelah barat Indonesia. Peninggalan tertua adalah sisa-sisa perahu papan yang ditemukan di Pontian di ujung barat daya Semenanjung  Malaka, yang setelah dukur dengan metode karbon diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-3 sampai ke-5. Bagian-bagian dari perahu sejenis telah ditemukan di Thailand selatan yang, dari bukti-bukti yang ada, kemungkinan  berasal dari masa yang lebih kurang sama. Dan di Sumater Selatan, dekat dengan Palembang, telah ditemukan puing-puing yang sangat jelas berasal dari kapal yang besar dan kukuh dari abad ke-5-7 M. sumber-sumber dari Cina mengenai periode yang sama menyebutkan, kapal-kapal yang dibuat dari papan bersilangan dari wilayah kepulauan (Indonesia) panjangnya setara dengan 162 kaki; tetapi sejauh ini tak ada bukti langsung mengenai perahu besar semacam itu yang dapat meperjelas keberadaannya. Yang luar biasa dari semua barang peninggalan tersebut adalah bentuk-bentuk papan bersilangan, diikat dengan pelat sambung, dan teknik pasak tampak digunakan pada konstruksi perahu Indonesia selama seribu lima ratus tahun berikutnya.

Demikian pula di Palembang dan Sambirejo, Sumatera Selatan para arkeolog menemukan kemudi setengah lingkaran sepanjang 27 kaki dan masing-masing berukuran panjang 20 kaki-hampir sama dengan kemudi yang masih digunakan pada perahu-perahu  masa sekarang dan kemungkinan berasal dari paruh pertama millennium pertama Masehi. Rekonstruksi dari beberapa serpihan kayu lainnya dari sambirejo mengahasilkann sebuah strek sepanjang 47 kaki, dari kapal yang diperkirakan memiliki bentuk sempit dan panjang 65 kaki hingga 70 kaki. Diperkirakan, kedua perahu tersebut dan perahu sejenis yang ditemukan di Mindano Filipina, tidak stabil tanpa adanya cadik. Penemuan tersebut sangat berarti karena selama periode tersebut tidak ditemukan adanya sisa-sisa peniggalan kapal kuno di India selatan.

Sisa-sisa perahu berbentuk ramping dari Sambirejo kemingkinan berasal dari kapal yang serupa dengan perahu bercadik yang anggun dan mampu melaju kencang yang disebut kora-kora yang menyelinap diantara pulau-pulau dan tetap digunakan sebagai kapal perang lama setelah kedatangan Portugi. Pada abad ke-16, setiap pemimpin daerah Filipina dan Maluku memiliki armada kapal perang sendiri,status sang pemimpin tergantung dari jumlah budak, yang berasal dari pulau-pulau yang jauh, yang mampu ditangkap dan dikumpulkannya dengan menggunaka armada kapal. Setiap kapal didayung oleh 300 orang yang duduk berurutan pada tepian ganda di kedua sisi kapal. Mereka didukung oleh para perajurit bersanjata tombak, sumpit, panah dan panah yang ditempatkan di lantai yang tinggi. Para juru mudi mengendalikan kapal yang memiliki kemudi bercabang dua ke samping, dengan dibantu oleh layar dengan tiang berkaki tiga kyang membuat kapal berlaju kencang di permukaan air. Batang tinggi pada buritan dibuat mmelengkung keatas dan pada tiap ujungnya dihiasi pita-pita; dan pada masa lalu dihiasi oleh kepala-kepala musuh yang berhasil ditaklukkan.

Sisa-sisa penginggalan kapal yang lebih besar, seperti yang ditemukan di dekat Palembang, tampak berasal dari satu badan perahu tanpa cadik, yang kemungkinan merupakan cikal bakal perahu jong atau jongue  Indonesia yang tekenal, yang merupakan kapal barang yang masih ada dalam jumlah banyak hingga awal abad ke-16. Meskipun nama tersebut seperti nama kapal Cina, “jung”, jong mmerupakan hasil rancangan bangsa Indonesia, dan –jika sejarah pelayaran antarsamudera berjalan-cikal bakal kapal tersebut mungkin lebih tua daripada cikal bakal kapal Cina jung.

Kedua kapal tesebut memiliki peprbedaan dalam beberapa hal penting, misalnya papan-papan jong disatukan dengan pasak dari kayu, sedangkan jung disatukan dengan menggunakan paku-paku besi dan pengapit. Jong memiliki kemudi quarter-merupakan cirri khas yang menonjol dari perahu Indonesia maupun Cina. Jong seperti halnhya kapal Cina, memiliki badan dengan ketablan empat bahkan mungkin enamlapis kayu, selubung pelindung luar  baru diletakkan di atas kayu-kayu tersebut ketika mulai lapuk. Badan kapal setebal 6 atai 8 inci membuat jung maupun jong benar-benar berat dan sempurna. Teknik ini hamper dapat dipastikan diperlajari bangsa Cina dari bangsa Indonesia, mengingat Cina tidak memiliki kapal laut yang mampu mengarungi samudera sebelum abad ke-8 atau ke-9 M, yaitu ketika Sung berkuasa dan Cina mulai membangun angkatan laut yang kuat.

Dua peziarahh Budha dari Cina yang memiliki kapal Indonesia di Sumatra untuk menuju India meninggalkan catatan-catatan yang, meskipun berjarak antara abad ke-3 dan ke-8 M, penjelasan-penjelasan keduanya saling melengkapi satu sama lain. Kapal-kapal itu panjangnya 160 kaki, dan memiliki beban 600 ton; dibangun dari beberapa lapis papn; tidak mneggunakann besi sebagai ppenguat (yang menjelaskan bahwa kapal tersebut bukan milik bangsa Cina); papan-papan itu didikat satu sama lain dengan menggunkann serat pohon aren, dan dipasangi tiang-tiang dan layar. Karena tak sasstu pun penulis menyebutkan adanya cadik, diasumsikan bahwa kapal-kapal tersebut tidak memilikinya. Oleh karena itu, diperkirakan kapal-kapal itu merupakan cikal bakal dari jong, dan bukan kapal seperti kora-kora.

Namun, kesan yang paling “hidup” dasri jong ini dikutip dari seorang penulis sejarah dari Portugis, Gaspar Correla, yang menggambar kunjungan pertama Gubernur Alfonso de Albuquerque ke selat Melaka pada awal abad ke-16:

“karena junco itu memulai serangan, sang Gubernur medekatinya bersama seluruh armadanya. Kapal-kapal Portugis mulai menembaki junco , tetapi tidak ada pengaruhnya sama sekali, lalu juncoberlayar pergi….. kapal-kapal Potugis lalu menembaki tiang-tiang junco…dan layar-layarnya berjatuhan. Karena sangat tinggi, orang-orang kami tidak berani menaikinya, dan tembakan kami tidak merusaknya sedikit pun karena junco memiliki empat lapis papan. Meriam terbesar kami hanya mampu menmbus tak lebih dari dua lapis… melihat hal ini, sang Gubernur memerintahkan nau-nya untuk dating ke samping junco. (Kapal Portugis) ini adalah Flor de la Mar, kapal Portugis yang tertinggi. Dan ketika berusaha untuk menaiki junco, bagian belakang kapal hamper tak dapat mencapai dengan baik sehingga kapal Portugis terpaksa berlayar menjauhi kapal itu lagi. (Setelah pertempuran selama  dua hari dua malam) sang Gubernur memetuskan untuk memathkan dua buah dayung yang ada di luar kapal.

Setelah itu, barulah junco menyerah.

Terdapat sebuah rancangan kapal Indonesia lain yang terkenal yang dapat dilihat pada tujuh buah panel relief di dinding-dinding stupa abad ke-8 dan ke-9 di Candi Borobudur yang telah dijelaskkan sebelumnya. Seperti kasus-kasus yang lainnya, tak semua orang sepakat tentang apa yang dimaksud dengan gambar itu. Keyakinan Mookerji bahwa kapal-kapl tersebut adalah kapal-kapal India telah dibantah. Adrian Horridge berpendapat berpendapat bahwa kapal-kapal tersebut adalah cikal bakal dari kora-kora. James Hornell mengaanggapnya sebgai “keturunan” dari kolandiaphontha atau kolandia, yang menurutnya “kemungkinan merupakan jerabat  dekat kapal bercadik bertiang dua dari Jawa yang pahatannya ada di Borobudur, mengingat Periplus menyatakan dengan jelas bahwa kolandia berdagang hingga ke Chyse.” Dan Anthony Christie darii School of Oriental and African “Studies di London, yang menyamakan dengan kolandiaphonta  kun-lo-pa, yakin bahwa kapal-kapal tersebut dan kapal-kapal yang ada di Borobudur adalah nenek moyanng dari jong yangn berlayar perlahan dan bertahan dari tembaan meriam. Dari konstruksinya yang kukuh, kapal-kapal tesebut mampu melakukan perjalanan jauh. Dan faktanya bahwa kapal-kapal itu yang digambarkan (ddi relief Cnadi Boroobudur), memunculkan anggapan bahwa kapal-kapal tersebut pada masa itu setara dengan Boeing atau Airbus, sehingga pengaruh Indonesia tersebut sampai wilayah yang jauh dan luas…sebuahkemungkinan yang dibuktikan oleh perjalanan replica kapal Borobudur yang tba di Ghana pada Februari 2004 setelah berayar sejauh 11.000 mill dari Indonesia.

Disadur dari buku Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika, Robert Dick-Read, Bandung: Mizan, 2008.

Metode Simulasi

1.Pengertian
Simulasi berasal dari kata simulate yang artinya berpura-pura atau berbuat seakan-akan. Dan juga simulation, yang berarti tiruan atau perbuatan yang hanya berpura-pura saja. Roestiyah NK., memberikan batasan simulasi dengan tingkah laku berbuat seperti yang dimaksudkan, dengan tujuan agar orang itu dapat mempelajari lebih mendalam tentang bagaimana orang itu merasa dan berbuat sesuatu.
Penekanan dalam metode simulasi adalah pada kemampuan siswa untuk berimitasi sesuai dengan objek yang diperankan. Pada titik finalnya diharapkan siswa mampu untuk mendapatkan kecakapan bersikap dan bertindak sesuai dengan situasi sebenarnya. Sebagai metode mengajar, simulasi dapat diartikan cara penyajian pengalaman belajar dengan menggunakan situasi tiruan untuk memahami tentang konsep, prinsip, atau keterampilan tertentu.
Simulasi dapat digunakan sebagai metode mengajar dengan asumsi tidak semua proses pembelajaran dapat dilakukan secara langsung pada objek yang sebenarnya. Gladi resik merupakan salah satu contoh simulasi, yakni memperagakan proses terjadinya suatu upacara tertentu sebagai latihan untuk upacara sebenarnya supaya tidak gagal dalam waktunya nanti. Demikian juga untuk mengembangkan pemahaman dan penghayatan terhadap suatu peristiwa, penggunaan simulasi akan sangat bermanfaat.
Dalam simulasi apa yang didemonsttrasikan harus memiliki pesan moral yang sesuai dengan tingkatan cara berfikir siswa, sehingga pemahaman mereka terhadap kejadian yang diperagakan tidak terhalang oleh apresiasi dan imajinasi anak murid. Banyak kejadian-kejadian masa lalu yang dapat disimpulkan, diantaranya ketegaran dan keadilan Umar bin Khattab dalam menetapkan suatu hukuman walaupun kepada anaknya sendiri.
Metode simulasi bertujuan untuk:
a. Melatih keterampilan tertentu baik bersifat profesional maupun bagi kehidupan sehari-hari,
b. Memperoleh pemahaman tentang suatu konsep atau prinsip,
c. Melatih memecahkan masalah,
d. Meningkatkan keaktifan belajar,
e. Memberikan motivasi belajar kepada siswa,
f. Melatih siswa untuk mengadakan kerjasama dalam situasi kelompok,
g. Menumbuhkan daya kreatif siswa, dan
h. Melatih siswa untuk mengembangkan sikap toleransi.

2. Kelebihan Metode Simulasi
Terdapat beberapa kelebihan dengan menggunakan simulasi sebagai metode mengajar, di antaranya adalah:
1. Aktivitas simulasi menyenangkan siswa sehingga siswa secara wajar terdorong untuk berpartisipasi.
2. Menggalakkan guru untuk mengembangkan aktivitas-aktivtas simulasi sendiri tanpa bantuan siswa.
3. Memungkinkan eksperimen tanpa memerlukanlingkungan yang sebenarnya.
4. Tdak memerlukan skill komunikasi yang pelik dalam bentuk aktivitas.
5. Simulasi dapat dijadikan sebagai bekal bagi siswa dalam menghadapi situasi yang sebenarnya kelak, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, maupun menghadapi dunia kerja.
6. Simulasi dapat mengembangkan kreativitas siswa, karena melalui simulasi siswa diberi kesempatan untuk memainkan peranan sesuai dengan topik yang disimulasikan.
7. Simulasi dapat memupuk keberanian dan percaya diri siswa.
8. Memperkaya pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan dalam menghadapi berbagai situasi sosial yang problematis.
9. Simulasi dapat meningkatkan gairah siswa dalam proses permbelajaran.
3.Kelemahan Metode Simulasi
Di samping memiliki kelebihan, simulasi juga mempunyai kelemahan, di antaranya:
1. Efektivitasnya dalam memajukan proses belajar mengajar belum terbuktikan oleh riset.
2. Sering mendapatkan kritik dari orang tua karena aktivitas ini melibatkan permainan.
3. Pengalaman yang diperoleh melalui simulasi tidak selalu tepat dan sesuai dengan kenyataan di lapangan.
4. Pengelolaan yang kurang baik, sering simulasi dijadikan sebagai alat hiburan, sehingga tujuan pembelajaran menjadi terabaikan.
5. Faktor psikologis seperti rasa malu dan takut sering memengaruhi siswa dalam melakukan simulasi.

4.Jenis-jenis Metode Simulasi

Simulasi terdiri dari beberapa jenis, di antaranya:
a. Sosiodrama.
Sosiodrama adalah metode pembelajaran bermain peran untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan fenomena sosial, permasalahan yang menyangkut hubungan antara manusia seperti masalah kenakalan remaja, narkoba, gambaran keluarga yang otoriter, dan lain sebagainya. Sosiodrama digunakan untuk memberikan pemahaman dan penghayatan akan masalah-masalah sosial serta mengembangkan kemampuan siswa untuk memecahkannya.
b. Psikodrama
Psikodrama adalah metode pembelajaran dengan bermain peran yang bertitik tolak dari permasalahan-permasalahan psikologis. Psikodrama biasanya digunakan untuk terapi, yaitu agar siswa memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang dirinya, menemukan konsep diri, menyatakan reaksi terhadap tekanan-tekanan yang dialaminya.
c. Role Playing
Role playing atau bermain peran adalah metode pembelajaran sebagai bagian dari simulasi yang diarahkan untuk mengkreasi peristiwa sejarah, mengkreasi peristiwa-peristiwa aktual, atau kejadian-kejadian yang mungkin muncul pada masa mendatang. Topik yang dapat diangkat untuk role playing misalnya memainkan peran sebagai juru kampanye suatu partai atau gambaran keadaan yang mungkin muncul pada abad teknologi informasi.
d. Peer Teaching
Peer teaching merupakan latihan mengajar yang dilakukan oleh siswa kepada teman-teman calon guru. Selain itu peer teaching merupakan kegiatan pembelajaran yang dilakukan seorang siswa kepada siswa lainnya dan salah satu siswa itu lebih memahami materi pembelajaran.
e.Simulasi Game
Simulasi game merupakan bermain peranan, para siswa berkompetisi untuk mencapai tujuan tertentu melalui permainan dengan mematuhi peraturan yang ditentukan.

5. Langkah-langkah Simulasi
a. Persiapan Simulasi
• Menetapkan topik atau masalah serta tujuan yang hendak dicapai oleh simulasi.
• Guru memberikan gambaran masalah dalam situasi yang akan disimulasikan.
• Guru menetapkan pemain yang akan terlibat dalam simulasi, peranan yang harus dimainkan oleh para pemeran, serta waktu yang disediakan.
• Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya khususnya pada siswa yang terlibat dalam pemeranan simulasi.
b. Pelaksanaan Simulasi
• Simulasi mulai dimainkan oleh kelompok pemeran.
• Para siswa lainnya mengikuti dengan penuh perhatian.
• Guru hendaknya memberikan bantuan kepada pemeran yang mendapat kesulitan.
• Simulasi hendaknya dihentikan pada saat puncak. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong siswa berpikir dalam menyelesaikan masalah yang sedang disimulasikan.
c. Penutup
• Melakukan diskusi baik tentang jalannya simulasi maupun materi cerita yang disimulasikan.Guru harus mendorong agar siswa dapat memberikan kritik dan tanggapan terhadap proses pelaksanaan simulasi.
• Merumuskan kesimpulan.

DAFTAR PUSTAKA
Arief, DR. Armai. 2002. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press.
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. 1994. Cet. I. Jakarta: Kalam Mulia.

Sejarah Munculnya Madrasah di Indonesia dan Perkembangannya

NAMA: NASRULLAH

NIM: 151.091.106

KELAS: PAI IVA

SEJARAH MUNCULNYA MADRASAH DI INDONESIA DAN PERKEMBANGANNNYA

Menelusuri makna madrasah secara harfiah Kata madrasah berasal dari bahasa Arab yang merupakan isim makan dari darasa-yadrisu. Secara harfiah, kata ini berarti atau setara maknanya dengan kata Indonesia, “sekolah”. Madrasah mengandung arti tempat, wahana anak mengenyam proses pembelajaran. Maksudnya, di madrasah itulah anak menjalani proses belajar secara terarah, terpimpin, dan terkendali. Dengan demikian, secara teknis madarasah menggambarkan proses pembelajaran secara formal yang tidak berbeda dengan sekolah. Hanya dalam lingkup kultural, madrasah memiliki konotasi spesifik. Di lembaga ini anak memperoleh hal-ihwal atau seluk beluk agama dan keagamaan. Sehingga dalam pemakaiannya kata madrasah lebih dikenal sebagai sekolah agama.[1] Kata madrasah, yang secara harfiah identik dengan sekolah agama, setelah mengaarungi perjalanan peradaban bangsa diakui telah mengalami perubahan-perubahan walaupun tidak melepaskan diri dari makana asal sesuai dengan ikatan budaya Islam.[2]

Sejarah Munculnya Madrasah di Indonesia Tampaknya kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam setidak-tidaknya memiliki latarbelakang, di antaranya: 1. Sebagai manifestasi dari realisasi pembahuruan sistem pendidikan Islam. 2. Usaha penyempurnaan terhadap sstem pesantren ke arah suatu sistem pedidikan yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum, misalnya masalah kesamaan kesempatan kerja dan perolehan ijazah. 3. Adanya sikap mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri yang terpukau pada Barat sebagai sistem pendidikan mereka. 4. Sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang dilakukan oleh pesantren dan sistem pendidikan dari hasil akulturasi.[3]

Pada mulanya, pendidikan Islam dilaksanakan di surau-surau dengan tidak menggunakan sistem klasikal dan tidak pula menggunakan bangku, meja, papan tulis, hanya duduk bersila saja. Kemudian mulailah perubahan sedikit demi sedikit sampai sekarang. Pendidikan Islam yang mula-mula menggunakan sistem klasikal dan memakai bangku, meja dan papan tulis ialah Sekolah Adabiyah (Adabiyah School) di Padang.yang didirikan Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Dan inilah madrasah (Sekolah Agama) yang pertama di Minangkabau, bahkan diseluruh Indonesia, karena menurut penyelidikan tidak ada madrasah yang lebih dulu didirikan dari Sekolah Adabiyah itu. Dan madrasah Adabiyah tersebut berkembang sampai tahun 1914. Akan tetapi kemudian diubah menjadi HIS[4] Adabiyah pada tahun 1915. Dan inilah HIS yang pertama di Minangkabau yang memasukkan pelajaran Agama dalam rencana pembelajarannya. Gagasan awal dalam proses moderisasi pendidikan Islam sebagaimana diungkapkan Husni Rahim[5], setidaknya ditandai oleh dua kecendrungan organisasi-organisasi Islam dalam mewujudkannya yaitu: Pertama, mengadopsi sistem pendidikan dan lembaga pendidikan modern (Belanda) secara menyeluruh. Usaha ini melahirkan sekolah-sekolah umum model Belanda tetapi diberi muatan tambahan pengajaran Islam. Kedua, munculnya madrasah-madrasah modern, yang secara terbatas mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern Belanda, namun tetap menggunakan madrasah dan lembaga tradisional pendidikan Islam sebagai basis utamanya.

Perkembangan Madrasah di Indonesia

1. Madrasah pada Masa Penjajahan

Pada masa penjajahan, pendidikan Islam dipandang sebelah mata oleh pihak pemerintahan kolonial Belanda, karena mereka merasa tidak perlu dan tidak ada gunanya untuk melakukan sesuatu, karena pendidikan Islam dianggap sebagai pendidikan moral keagamaan yang mengagungkan rasa intuitif yang memberikan sumber semangat perjuangan bagi rakyat. [6]

Adapun madrasah yang lahir pada masa ini: Madrasah Tawalib oleh Syaikh Abdul karim Amrullahdi Padang Panjang); Madrasah Nurul Iman oleh H. Abd Somad di Jambi, Madrasah Saadah al-Darain oleh H. Achmad Syakur; Saadah Adabiyah oleh Tengku Daud Beureueh. Hal serupa juga di Sumatera Timur, tapanulli, Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan lain-lain.[7]

2. Madrasah pada Awal Masa Kemerdekaan

Di awal kemerdekaan, tidak dengan sendirinya madrasah dimasukkan kedalam system pendidikan nasional. Madrasah memang tetap hidup, tetapi tidak memperoleh bantuan sepenuhnya dari pemerintahan. Adanya perhatian pemerintah baru diwujudkan denagan PP No. 33 Tahun 1949 dan PP No. 8 Tahun 1950, yang sebelumnya telah dikeluarkan peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1946, No. 7 Tahun 1952, No. 2 Tahun 1960 dan terakhir No. 3 Tahun 1979 tentang pemberian bantuan kepada madrasah.[8]

Ditinjau dari segi jenis madrasah berdasarkan kurikulum dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: Madrasah Diniyah, Madrasah SKB 3 Mentri dan Madrasah Pesantren. Madrasah Diniyah adalah suatu bentuk madrasah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama (diniyah).[9]

[1] A. Malik Fajar, Madrasah dan Tantangan Moderenitas, (Bandung: Mizan, 1998), h.18-19.

[2] Ibid

[3]Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), h. 163.

[4] HIS =Hollandsche Indische Schoel atau Sekolah Belanda Boemi Poetra.

[5] Muhammad Kholid Fathoni, Pedidikan Islam dan Pendidikan Nasional:Paradigma Baru. (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005), h. 61.

[6] Abdul Rchman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa: Visi, Misi dan Aksi,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006)

[7] Ibid

[8] Ibid., h. 23.

[9]H.M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal: Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h.95.

Pengembangan Kurikulum

BAB I PENDAHULUAN

Pembahasan mengenai kurikulum tidak mungkin dilepaskan dari pengertian kurikulum, dan proses pengembangan suatu kurikulum. Pembahasan mengenai kedua hal ini dalam urutan seperti itu sangat penting karena pengertian seseorang terhadap arti kurikulum,dan menentukan proses pengembangan kurikulum. Pokok bahasan itu dikemukakan dalam makalah ini dalam urutan seperti itu. Pembahasan mengenai pengertian ini penting karena ada dua alasan utama. Pertama, seringkali kurikulum diartikan dalam pengertian yang sempit dan teknis. Dalam kotak pengertian ini maka definisi yang dikemukakan mengenai pengertian kurikulum kebanyakan adalah mengenai komponen yang harus ada dalam suatu kurikulum. Untuk itu berbagai definisi diajukan para akhli sesuai dengan pandangan teoritik atau praktis yang dianutnya. Ini menyebabkan studi tentang kurikulum dipenuhi dengan hutan definisi tentang arti kurikulum. Alasan kedua adalah karena definisi yang digunakan akan sangat berpengaruh terhadap apa yang akan dilakukan oleh para pengembang kurikulum. Pengertian sempit atau teknis kurikulum yang digunakan untuk mengembangkan kurikulum adalah sesuatu yang wajar dan merupakan sesuatu yang harus dikerjakan oleh para pengembang kurikulum. Sayangnya, pengertian yang sempit itu turut pula mnyempitkan posisi kurikulum dalam pendidikan sehingga peran pendidikan dalam pembangunan individu, masyarakat, dan bangsa menjadi terbatas pula. Pembahasan mengenai posisi kurikulum adalah penting karena posisi itu akan memberikan pengaruh terhadap apa yang harus dilakukan kurikulum dalam suatu proses pendidikan. Tidak seperti halnya dengan pengertian kurikulum para akhli kurikulum tidak banyak berbeda dalam posisi kurikulum. Kebanyakan mereka memiliki kesepakatan dalam menempatkan kurikulum di posisi sentral dalam proses pendidikan. Kiranya bukanlah sesuatu yang berlebihan jika dikatakan bahwa proses pendidikan dikendalikan, diatur, dan dinilai berdasarkan criteria yang ada dalam kurikulum. Pengecualian dari ini adalah apabila proses pendidikan itu menyangkut masalah administrasi di luar isi pendidikan. Meski pun demikian terjadi perbedaan mengenai koordinat posisi sentral tersebut dimana ruang lingkup setiap koordinat ditentukan oleh pengertian kurikulum yang dianut. Pembahasan mengenai proses pengembangan kurikulum merupakan terjemahan dari pengertian kurikulum dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan dalam bentuk berbagai kegiatan pengembangan. Pengertian dan posisi kurikulum akan menentukan ap yang seharusnya menjadi perhatian awal para pengembang kurikulum, mengembangkan ide kurikulum, mengembangkan ide dalam bentuk dokumen kurikulum, proses implementasi, dan proses evaluasi kurikulum. Pengertian dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan menentukan apa yang seharusnya menjadi tolok ukur keberhasilan kurikulum, sebagai bagian dari keberhasilan pendidikan. BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Kurikulum Kata kurikulum berasal dari bahasa yunani yang semula digunakan dalam bidang olahraga, yaitu currere yang berarti jarak tempuh lari, yakni jarak yang harus ditempuh dalam kegiatan berlari mulai dari start hingga finish[1]. Sedangkan dari bahasa Latin “curriculum”, semula berarti”a running course, specialli a chariot race course”. Dan terdapat pula dalam bahasa prancis “courir” artinya to run artinya “berlari”. Istilah ini digunakan untuk sejumlah”courses” atau matapelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai gelar atau ijazah[2]. Dalam bahasa arab, kurikulum diartikan dengan Manhaj, yakni jalan yang terang yang harus dilalui oleh pendidik bersama peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap serta nilai-nilai[3]. Dalam banyak literature kurikulum diartikan sebagai: suatu dokumen atau rencana tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis. Dokumen atau rencana tertulis itu berisikan pernyataan mengenai kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum tersebut. Pengertian kualitas pendidikan di sini mengandung makna bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil belajar yang harus dimiliki peserta didik, kualitas bahan/konten pendidikan yang harus dipelajari peserta didik, kualitas proses pendidikan yang harus dialami peserta didik. Kurikulum dalam bentuk fisik ini seringkali menjadi fokus utama dalam setiap proses pengembangan kurikulum karena ia menggambarkan ide atau pemikiran para pengambil keputusan yangdigunakan sebagai dasar bagi pengembangan kurikulum sebagai suatu pengalaman. Aspek yang tidak terungkap secara jelas tetapi tersirat dalam definisi kurikulum sebagai dokumen adalah bahwa rencana yang dimaksudkan dikembangkan berdasarkan suatu pemikiran tertentu tentang kualitas pendidikan yang diharapkan. Perbedaan pemikiran atau ide akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam kurikulum yang dihasilkan, baik sebagai dokumen maupun sebagai pengalaman belajar. Oleh karena itu Oliva (1997:12) mengatakan “Curriculum it self is a construct or concept, a verbalization of an extremely complex idea or set of ideas”. Selain kurikulum diartikan sebagai dokumen, para akhli kurikulum mengemukakan berbagai definisi kurikulum yang tentunya dianggap sesuai dengan konstruk kurikulum yang ada pada dirinya. Perbedaan pendapat para akhli didasarkan pada isu berikut ini: * Filosofi kurikulum * Ruang lingkup komponen kurikulum * Polarisasi kurikulum – kegiatan belajar * Posisi evaluasi dalam pengembangan kurikulum Banyak kecaman terhadap pengertian kurikulum yang dikembangkan dari pandangan filosofis ini walaupun dalam kenyataannya masih banyak orang dan pengambil kebijakan yang menganut pandangan ini. Kurikulum di Indonesia masih didominasi oleh pandangan ini. Konten kurikulum dalam pandangan ini adalah materi yang dikembangkan dari disiplin ilmu; tujuan adalah penguasaan konsep, teori, atau hal yang terkait dengan disiplin ilmu. Suatu hal yang jelas bahwa definisi kurikulum oleh kelompok “conservative” (perenialism dan essentialism), kelompok “romanticism” (romantic naturalism), “existentialism” mau pun “progressive” (experimentalism, reconstructionism) hanya memusatkan perhatian pada fungsi “transfer” dari apa yang sudah terjadi dan apa yang sedang terjadi. Pada aliran progresif kelompok rekonstruksionis dapat dikatakan berbeda dari lainnya karena kelompok ini tidak hanya mengubah apa yang ada pada saat sekarang tetapi juga membentuk apa yang akan dikembangkan. Walau pun tidak begitu jelas tetapi pada pandangan ini sudah ada upaya untuk “shaping the future” dan bukan hanya “adjusting, mending or reconstructing the existing conditions of the life of community”. Seperti dikemukakan oleh McNeil (1977:19): Social reconstructionists are opposed to the notion that the curriculum should help students adjusts or fit the existing society. Instead, they conceive of curriculum as a vehicle for fostering critical discontent and for equipping learners with the skills needed for conceiving new goals and affecting social change. Secara mendasar, ada kekhawatiran bahwa kurikulum hanya memikirkan kerusakan atau persoalan social yang ada dan meninggalkan sama sekali apa yang sudah dihasilkan. Kontinuitas kehidupan dan perkembangan masyarakat dikhawatirkan akan terganggu. Pandangan rekonstruksi social di atas menyebabkan kurikulum haruslah diredefinisikan kembali sehingga ia tidak mediocre karena hanya menfokuskan diri pada transfer kejayaan masa lalu, pengembangan intelektualitas, atau pun menyiapkan peserta didik untuk kehidupan masa kini. Padahal masa kini adalah kelanjutan dari masa lalu dan masa kini akan terus berubah dan sukar diprediksi. Kemajuan teknologi pada akhir kedua abad keduapuluh telah memberikan velocity perubahan pada berbagai aspek kehidupan pada tingkat yang tak pernah dibayangkan manusia sebelumnya. Pendidikan harus lah aktif membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik untuk suatu kehidupan yang akan dimasukinya dan dibentuknya. Peserta didik akan menjadi anggota masyarakat yang secara individu maupun kelompok tidak hanya dibentuk oleh masyarakat (dalam posisi menerima = pasif) tetapi harus mampu memberi dan mengembangkan masyarakat ke arah yang diinginkan (posisi aktif). Artinya, kurikulum merupakan rancangan dan kegiatan pendidikan yang secara maksimal mengembangkan potensi kemanusiaan yang ada pada diri seseorang baik sebagai individu mau pun sebagai anggota masyarakat untuk kehidupan dirinya, masyarakat, dan bangsanya di masa mendatang.[4] Dari beberapa pengertian tentang kurikulum secara umum tersebut, maka dapat dipahami bahwa pengembangan kurikulum pendidikan agama islam itu sendiri dapat diartikan sebagai: (1) kegiatan menghasilkan kurikulum PAI, atau (2) proses yang mengaitkan satu komponen dengan yang lainnya untuk menghasilkan kurikulum PAI yang lebih baik; dan atau (3) kegiatan penyusunan (desain), pelaksanaan, penilaian dan penyempurnaan kurikulum PAI.[5] Pengembangan kurikulum adalah perencaaan kesempatan-kesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membawa siswa ke arah perubahan-perubahan yang diinginkan dan menilai hingga mana perubahan-perubahan itu telah terjadi pada diri siswa.[6] 1. Proses Pengembangan Kurikulum Dalam Pendidikan Agama Islam Dalam realitas sejarahnya, pengembangan kurikulum PAI tersebut ternyata mengalami perubahan paradigma, walaupun dalam beberapa hal tertentu paradigma sebelumnya masih tetap di pertahankan hingga sekarang. Hal ini dapat dicermati dari fenomena berikut: (1) perubahan dari tekanan pada hapalan dan daya ingatan tentang teks-teks dari ajaran agama islam, serta disiplin mental spiritual sebagaimana pengaruh dari timur tengah, kepada pemahaman tujuan, makana dan motivasi beragama islam untuk mencapai tujuan pembelajaran PAI; (2) perubahan dari cara berfikir tekstual, normatif, dan absolutis kepada cara berfikir historis, empiris, dan kontekstual dalam memahami dan menjelaskanajaran dan nilai agama islam; (3) perubahan daritekanan pada produk atau hasil pemikiran keagamaan islam dari pada pendahulunya kepada proses atau metodologinya sehingga mennghasilkan produk tersebut dan; (4) perubahan dari pola pengembangan kurikulum PAI yang hanya mengandalkan pada para pakar dalam memilih dan menyusun isi kurikulum PAI kearah keterlibatan yang luas dari para pakar, guru, peserta didik, masyarakat untuk mengidentifikasi tujuan PAI dan cara-cara mencapainya. Menurut Hasan (2002), bahwa seseorang dalam mengembangkan kurikulum PAI dimulai dari kegiatan perencanaan kurikulum. Dalam menyusun perencanaan ini didahului oleh ide-ide yang akan dituangkan dan dikembangkan dalam program. Ide kurikulum bisa berasal dari: 1) Visi yang dicanangkan;2) kebutuhan stakeholders (siswa, masyarakat, dan pengguna lulusan) dan kebutuhan untuk studi lanjut,3) hasil evaluasi kurikulum sebelumnya dan tuntutan perkembangan ipteks dan zaman,4) pandangan-pandangan para pakar dengan berbagai latar belakangnya,5) kecendrungan era globalisasi, yang menuntut seseorang untuk memiliki etos belajar sepanjang hayat, melek sosial, ekonomi, politik, budaya, dan teknologi. Kelima ide tersebut kemudian diramu sedemikian rupa untuk dikembangkan dalam program atau kurikulum sebagai dokumen, yang berisi masalah: bentuk/silabus, dan komponen-komponen kurikulum yang harus dikembangkan. Apa yang tertuang dalam dokumen tersebut kemudian dikembangkan dan disosialisasikan dalam proses pelaksanaannya, yang dapat berupa pengembangan kurikulum dalam bentuk SAP, proses pembelajaran didalam maupun di luar kelas, serta evaluasi pembelajaran sehingga di ketahui tingkat efiensi dan efektivitasnya.Dari evaluasi ini akan diperoleh unpan balik (feed back) untuk di gunakan dalam penyempurnaan kurikulum berikutnya. 1. Dasar-dasar Kurikulum Sebuah kurikulum yang efektif harus dibangun berdasarkan prinsip- prinsip dan stuktur sbb.: 1. 1. Dasar Agama kurikulum dapat menolong siswa untuk membina iman yang kuat, teguh terhadap ajaran agama, berakhlaq mulia dan melengkapinya dengan ilmu yang bermanfaat di dunia dan di akhirat. 1. 1. Dasar falsafah pendidikan islam harus berdasarkan wahyu Tuhan dan tuntutan Nabi saw serta warisan para ulama’ 1. 1. Dasar Psikologis kurikulum yang baik harus disusun berdasarkan kebutuhan kelompok umur anak didik sehingga sesuai dengan perkembangan dan tahap kematangannya.[7] 1. 1. Dasar Pendidikan yang Tepat Kurikulum yang efektif harus sesuai dengan pengetahuan kita tentang bagaimana cara anak-anak didik belajar. Dengan mengkombinasikan pengetahuan tsb. tujuan mengajarkan kebenaran akan lebih mudah tercapai karena kita tahu apa yang memotivasi anak belajar dan bagaimana cara mereka belajar paling baik. 1. 1. Dasar Ketepatan Aplikasi Mengajarkan pengetahuan kebenaran Alkitab saja masih kurang, karena tujuan utama Allah memberikan Firman-Nya adalah untuk mengubah hidup manusia. Oleh karena itu kurikulum juga harus dapat mendorong dan menolong anak untuk dapat meresponi kebenaran yang telah diberikan sehingga mereka menjadi “pelaku Firman dan bukan hanya pendengar saja”. 1. Macam-macam Kurikulum Kita mengenal berbagai macam kurikulum ditinjau dari berbagai aspek: * Ditinjau dari konsep dan pelaksanaannya, kita mengenal beberapa istilah kurikulum sebagai berikut: 1. Kurikulum ideal, yaitu kurikulum yang berisi sesuatu yang ideal, sesuatu yang dicita-citakan sebagaimana yang tertuang di dalam dokumen kurikulum 2. Kurikulum aktual, yaitu kurikulum yang dilaksanakan dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Kenyataan pada umumnya memang jauh berbeda dengan harapan. Namun demikian, kurikulum aktual seharusnya mendekati dengan kurikulum ideal. Kurikulum dan pengajaran merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Kurikulum merujuk kepada bahan ajar yang telah direncanakan yang akan dilaksanakan dalam jangka panjang. Sedang pengajaran merujuk kepada pelaksanaan kurikulum tersebut secara bertahap dalam belajar mengajar. 3. Kurikulum tersembunyi (hidden curriculum), yaitu segala sesuatu yang terjadi pada saat pelaksanaan kurikulum ideal menjadi kurikulum faktual. Segala sesuatu itu bisa berupa pengaruh guru, kepala sekolah, tenaga administrasi, atau bahkan dari peserta didik itu sendiri. Kebiasaan guru datang tepat waktu ketika mengajar di kelas, sebagai contoh, akan menjadi kurikulum tersembunyi yang akan berpengaruh kepada pembentukan kepribadian peserta didik.[8] * Berdasarkan struktur dan materi mata pelajaran yang diajarkan, kita dapat membedakan: 1. Kurikulum terpisah-pisah (separated curriculum), kurikulum yang mata pelajarannya dirancang untuk diberikan secara terpisah-pisah. Misalnya, mata pelajaran sejarah diberikan terpisah dengan mata pelajaran geografi, dan seterusnya. 2. Kurikulum terpadu (integrated curriculum), kurikulum yang bahan ajarnya diberikan secara terpadu. Misalnya Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan fusi dari beberapa mata pelajaran sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, dan sebagainya. Dalam proses pembelajaran dikenal dengan pembelajaran tematik yang diberikan di kelas rendah Sekolah Dasar. Mata pelajaran matematika, sains, bahasa Indonesia, dan beberapa mata pelajaran lain diberikan dalam satu tema tertentu. 3. Kurikulum terkorelasi (corelated curriculum), kurikulum yang bahan ajarnya dirancang dan disajikan secara terkorelasi dengan bahan ajar yang lain. * Berdasarkan pengembangnya dan penggunaannya, kurikulum dapat dibedakan menjadi: 1. Kurikulum nasional (national curriculum), yakni kurikulum yang disusun oleh tim pengembang tingkat nasional dan digunakan secara nasional. 2. Kurikulum negara bagian (state curriculum), yakni kurikulum yang disusun oleh masing-masing negara bagian, misalnya di masing-masing negara bagian di Amerika Serikat. 3. Kurikulum sekolah (school curriculum), yakni kurikulum yang disusun oleh satuan pendidikan sekolah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum sekolah. Kurikulum sekolah lahir dari keinginan untuk melakukan diferensiasi dalam kurikulum. 1. KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM Kurikulum pendidikan islam bersumber dari tujuan pendidikan islam. Tujuan pendidikan islam memiliki perbedaan dengan tujuan pendidikan lain, misalnya tujuan pendidikan menurut faham pragmatisme yang menitik beratkan pemanfaatan hidup manusia di dunia. Yang menjadi standar ukurannya pun sangat relatif, tergantung pada kebudayaan atau peradaban manusia. Arifin (1993: 237) menyatakan bahwa rumusan tujuan pendidikan islam adalah merealisasikan manusia Muslim yang beriman, bertaqwa, dan berilmu pengetahuan yang mampu mengabdikan dirinya kepada sang Khaliq dengan sikap dan keperibadian bulat menyerahkan diri kepada-Nya dalam segala aspek kehidupan dalam rangka mencari keridhoan-Nya. Sehubungan dengan kurikulum pendidikan islam, dalam penafsiran luas, kurikulumnya berisi materi untuk pendidikan seumur hidup (long life education), sesuai dengan hadist Rasulullah:”tuntutlah ilmu dari buaian hingga keliang lahat”(Al-Hadist). Kemudian yang menjadi pokok dari materi kurikulum pendidikan islam ialah bahan-bahan, aktivitas, dan pengalaman yang mengandung unsur ketauhidan.[9] Untuk itu ditetapkan kopetensi dasar yang perlu dicapai oleh stiap peserta didik pada setiap jenjanng pendidikan yaitu : 1. Pada tingkat SD diharapkan peserta didik 1. Memiliki iman yang benar 2. Mampu beribadah degan baik, benar dan tertib 3. Mampu membaca al-qur’an 4. Membiasakan brakhlak mulia 1. Pada tingkat SLTP diharapkan peserta didik 1. Memiliki iman yang benar 2. Mampu beribadah, berzikir dan berdo’a 3. Mampu membaca al-quran dengan benar 4. Terbiasa berakhlak bak 1. Pada tingkat SLTA diharapkan peserta didik 1. Memiliki iman yang benar 2. Mampu beribadah, berzikir dan berdo’a serta mampun menjadi imam sholat 3. Mampu membaca al-qur’an dan menghayati kandungan maknanya 4. Memiliki akhlak yang baik 5. Mampu menerapkan muamalah dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan pancasila.[10] 1. Prinsi-prinsip pengembangan kurikulum a. Prinsip relevansi b. Prinsip fleksibelitas c. Prinsip kontinuitas d. Prinsip praktis e. Prinsip efektipitas dan epesiensi. [1] Prof.Dr.H.Muhaimin MA,Pengembangan Kurikulum PAI,di sekolah,Madrasah dan PT (PT RajaGrafindo Fersada,Jakarta:2007)hal.1 [2] DR.Armai Arief MA, Pengantar Ilmu dan Metodologi PI (Ciputat Pers,Jakarta:2002) hal.29 [3] Ibid. [4] http://rositaoktavianirusma.blogdetik.com/2009/11/07/sejarah-kurikulum-indonesia [5] Loc.it,hlm.10 [6] Prof. Dr. Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, (rosda karya,bandung : 2008), hal. 96. [7] DR.Armai Arief MA,Ibid, hal.34 [8]Dr. Abdullah Idi,Pengembangan kurikulum-teori dan praktek (Ar-Ruzz Media,Jojakarata:2009),hal.49 [9] Ibid,hal.60 [10] H. Hafni Ladjid, pengembangan kurikulum menuju KBK (Quantum teaching,Ciputat:2005),hal.26-27.